June 2, 2008

Musik Indie Indonesia: Selangkah Lebih Maju Menuju “Go Intenational”

008Salah satu bentuk media massa modern adalah musik. Penyebaran media ini dilakukan dengan mengemasnya dalam bentuk kaset, CD, atau digital content seperti mp3 dan ring back tone. Musik telah diterima di seluruh negara di dunia sebagai suatu bahasa universal. Tidak jarang, banyak para musisi yang ikut menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka, baik menentang suatu bentuk ideologi tertentu ataupun mendukungnya, dengan menyisipkan pesan-pesan tertentu di dalam lirik lagu mereka atau pada saat performance mereka di atas panggung.

Menurut Denis McQuail, ketika signifikansi kultural dari musik telah mendapatkan banyak perhatian, terjadinya suatu hubungan antara musik dengan kejadian-kejadian sosial dan politis telah disadari secara nyata. Sejak kebangkitan youth-based industry di tahun 1960-an, musik populer yang dimediasi secara massal dikaitkan dengan idealisme kaum muda dan kepedulian politik, hingga dugaan terjadinya degenerasi dan hedonisme, penggunaan obat-obatan terlarang, kekerasan dan perilaku antisosial. Musik juga berperan dalam berbagai macam gerakan-gerakan kemerdekaan nasionalis (seperti di Irlandia dan Estonia). Di Indonesia sendiri, dalam sejarahnya, musik banyak berperan dalam gerakan-gerakan perjuangan dan kemerdekaan. Lagu-lagu mars bertempo sedang seringkali digunakan sebagai pembangkit motivasi para pejuang dalam bertempur.

Pada prosesnya, perkembangan musik Indonesia sempat “dikontrol” oleh penguasa di jaman orde lama. Isu nasionalisme bahkan sempat membuat grup band seperti Koes Plus dipenjara karena dianggap menyebarkan nilai-nilai barat. Namun seiring pergantian tatanan di Indonesia, musik di negeri ini cukup banyak mengalami kemajuan, meskipun masih saja didominasi lagu-lagu pop bertempo pelan. Di tahun 1970-an bahkan terdapat beberapa grup band asal Indonesia yang mendapat sambuntan hangat di luar negeri. Namun krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998, seakan menjadi titik kemunduran industri musik tanah air. Memang, industri musik termasuk salah satu industri yang mampu bertahan dari serangan krisis ekonomi tersebut. Akibat krisis ekonomi tersebut, maka atas nama penyelamatan pangsa pasar, para produser musik major label kemudian konsisten dalam merilis produk-produknya berupa musik pop ringan tanpa adanya variasi produk yang cukup berarti, bahkan hingga kini. Keadaan ini telah menjadikannya semacam hegemoni oleh industri musik besar terhadap para konsumennya. Mereka bahkan tidak diberi banyak pilihan genre musik. Industri musik di Indonesia telah “menyamakan bentuk” atau melakukan standardisasi produk-produk musik mereka, dalam hal ini berupa musik pop bertempo pelan yang bertemakan cinta.

Menurut Dominic Strinati, di dalam bukunya yang berjudul Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture, secara industrial, bentuk produksi ini merupakan sebuah proses standardisasi di mana produk-produk tersebut memiliki bentuk yang sama pada semua komoditas. Ditambahkan menurut T. Adorno, musik pop yang dihasilkan oleh industri budaya didominasi oleh proses standardisasi. Di sini gagasannya adalah bahwa lagu-lagu pop makin lama makin terdengar mirip satu sama lain, meskipun terdapat beberapa ciri tersendiri di tiap-tiap struktur inti lagu. Standardisasi merujuk pada kemiripan mendasar di antara lagu-lagu pop. Standardisasi mengandung pengertian bahwa lagu-lagu pop makin mirip satu sama lain, dan bagian-bagian, bait-bait maupun chord-nya semakin dapat saling dipertukarkan. Dengar saja lagu-lagu milik band Ungu, Naff, Kangen Band, atau band-band pop yang akhir-akhir ini menjamur.

Di tengah terpaan musik pop bertemakan cinta yang mendayu-dayu inilah lalu muncul minor label (atau biasa disebut indie label) yang mengusung konsep berbeda. Meskipun tidak sedikit dari grup band yang berasal dari indie label tersebut juga menyuarakan cinta, namun konsep musik yang diusung jauh berbeda dan lebih variatif dibandingkan produk-produk musik keluaran major label. Pada kenyataannya, para produser indie label inilah yang justru “menyelamatkan” pasar dengan memberikan media alternatif pada masyarakat. Kemunculan minor label sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni industri musik mainstream yang ada sangat didasari semangat kemandirian (independence). Slogan D.I.Y (Do It Yourself) yang mereka dengungkan juga menyertai kebangkitan industri musik alternatif Indonesia. Kemunculan musik independen tidak luput dengan adanya isu-isu perlawanan terhadap industri musik besar yang ada. Musik yang mereka hasilkan merupakan penanda akan ketidakpuasan terhadap produk-produk pasar hasil keluaran industri musik besar.

Pada perjalanannya, justru industri minor label inilah yang banyak berperan didalam distribusi musik Indonesia ke luar negeri. Ada semacam ironi disaat label besar hanya berkutat di cakupan regional yang kecil, sementara label kecil sudah merangkul sebagian wilayah dunia. Disaat label besar seperti “Sony Music” dan “Musica” sibuk menyebarkan produk “musik pasar”-nya ke seluruh pelosok Indonesia demi platinum, label-label kecil macam “Aksara” dan “FastForward” telah berhasil memasarkan produk-produk musik mereka hingga ke Amerika, Australia dan Eropa. Ketika kaset dan CD dari “Radja” dan “Peterpan” paling jauh beredar di Malaysia, maka “White Shoes And The Couples Company” dan “Mocca” telah berhasil menjual karya mereka dan memukau audiens di New York dan Jepang.

Keterbatasan secara ekonomi yang dialami para produser dan label kecil indie ini tidak menjadikan mereka pasrah terhadap keadaan pasar nasional. Sadar akan kemampuannya yang tidak begitu besar dalam penetrasi pasar dalam negeri, yang notabene “dikuasai” para major label dengan produk-produknya yang ‘terstandardisasi’, para indie label ini kemudian mencoba menjual musik mereka ke luar negeri. Unsur technological development juga telah menuntun para produser minor label untuk mulai bertumpu pada format distribusi baru, yaitu content digital. Selain diedarkan secara internasional dalam bentuk konvensional (kaset atau CD), penjualan melalui situs musik digital online juga telah marak. Situs asal Indonesia yaitu “nexxG” dan “equinoxDMD” adalah contoh publisher media secara online.

Jalur distribusi online secara digital akhirnya menjadi salah satu pilihan mereka. Implikasinya, dengan jaringan ini, produk mereka bahkan ada yang akhirnya dirilis secara konvensional dalam bentuk CD, bahkan plat, di negara-negara seperti Amerika, Australia, Jepang, Kanada dan Eropa. Hal ini tentu saja menguntungkan karena musik lokal Indonesia dapat dikenal di manca negara, karena selama ini musik Indonesia hanya dikenal melalui festival-festival musik yang menonjolkan penyanyi-penyanyi solo saja, dan masih jarang beredar dalam bentuk recorded music di luar negeri.

Munculnya minor label atau indie label sebagai salah satu bentuk produksi media alternatif dalam industri musik, merupakan suatu usaha untuk memberi ciri kepada output media atau untuk menawarkan sesuatu yang lain. Dukungan penuh terhadap convergence culture yang mendunia telah ditunjukkan oleh label-label kecil ini dengan merilis produk media mereka dalam format digital agar lebih dapat diterima secara internasional.


Irawan Prayoga

http://shinshoku.blogs.friendster.com

2 comments:

Anonymous said...

Wah tulisannya hebat euy!
Very good. Terusin Wan nulisnya, biasakan dan terus nulis, meski gak dikirim atau dimuat di media.
Dan jangan lupa didokumentasikan yah.
Honornya menusul dah.

Anonymous said...

boleh tau cara publikasi band indie di malaysia?
apa methode yang bagus digunakan/
tolong bantuannya ya
thanks.
klu boleh kirim ke alkhoviz@yahoo.com
thanks alott