June 25, 2008

Kapitalisme Penyiaran

Kapitalisme Penyiaran


Dalam era globalisasi, isu kepemilikan media secara besar menjadi perhatian utama. Konglomerasi yang dilakukan oleh para pemilik modal semakin marak. Dalam beberapa tahun terakhir saja, terlihat kepemilikan gabungan beberapa stasiun TV telah terlihat. MNC dengan stasiun RCTI, TPI dan Global TV-nya, TransCorp dengan Trans TV dan Trans 7-nya, serta Star dengan ANTV dan TV One-nya. Dalam dunia media cetak juga sama. Saham MRA juga memiliki beberapa media percetakan dan stasiun radio serta sebuah stasiun TV lokal. Jangan lupakan Media Grup dengan Media Indonesia dan Metro TV-nya.

Dalam contoh kasus konglomerasi industri televisi, hal ini menjadi sesuatu yang patut ditelaah lebih lanjut. Menurut MPPI, ketika era reformasi, masyarakat berusaha menghapus monopoli TVRI dengan membuat UU No.32/2002. Namun sekarang, kepemilikan beberapa stasiun televisi ternyata terkumpul di beberapa perusahaan privat sehingga mengarah kepada monopoli dan oligopoli. Padahal pada awalnya, monopoli TVRI dihapuskan agar masyarakat mendapat penyegaran dalam tayangan-tayangan televisi. Namun ternyata, keberagaman acara yang diharapkan itu tak juga dapat dinikmati oleh penontonnya. Pola penyiaran televisi swasta nasional sekarang ini masih menggunakan sistem mengikuti trend yang ada. Sebagai contoh: jika ada salah satu stasiun televisi menayangkan sinetron yang bertemakan religius dan terbukti mendapatkan animo yang besar dari masyarakat, maka stasiun televisi yang lain pun akan berlomba-lomba untuk menayangkan jenis sinetron yang sama. Kesamaan isi tayangan di stasiun-stasiun televisi swasta mungkin tidak akan terpengaruh bagi para pemirsa yang memang menyukai tayangan sejenis. Tetapi bagi mereka yang memerlukan alternatif tayangan lain akan merasa jengah terhadap situasi tayangan yang ada.

Pada masa sekarang ini dalam kehidupan masyarakat, televisi sudah menjadi agen perubahan kebudayaan yang paling dominan. Media televisi akan berjuang sekeras-kerasnya agar semua orang tergantung padanya. Mereka berjuang agar pemirsanya tidak mematikan televisi. Uses and gratification televisi terhadap masyarakat sudah tidak lagi sekedar menjadi uses and gratification, bahkan lebih dari itu. Televisi sudah dijadikan sebagai cermin, dan pendikte bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat, karena ia memiliki kemampuan untuk memanipulasi hiburan, jauh dibandingkan dengan media-media lainnya. Seperti apa yang dikatakan oleh Neil Postman, dalam bukunya "Menghibur Diri Sampai Mati", bahwa suatu media yang menonjol dalam suatu masyarakat akan merubah struktur wacana masyarakat tersebut. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak setelah menonton tayangan-tayangan televisi tentang superhero mampu mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh superhero tersebut, lebih dari sekedar fantasi mereka bahkan melakukan aksi-aksi yang terdapat dalam tayangan tersebut. Bagaimana para ibu-ibu rumah tangga ataupun para remaja ingin mengikuti penampilan dari selebritis idolanya yang mereka lihat di televisi. Dari contoh di atas kita dapat melihat bahwa citra yang menonjol pada televisi adalah pengeksploitasian, posisi masyarakat yang seharusnya sebagai subjek menjadi berubah sebagai objek. Perspektif ataupun dimensi etika tidak pernah menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam bisnis televisi.

Sebenarnya, sesuai UU Penyiaran No 32/2002 sebagai dasar pijak, pemerntah seharusnya sudah saatnya untuk mengambil tindakan. Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja misalnya, menuturkan bahwa UU Penyiaran jelas melarang badan hukum atau seseorang menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran. Demikian juga PP No 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraaan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (Koran Tempo, 31/02/2008). Namun yang terjadi, KPI tidak bisa bertindak langsung menyelesaikan masalah tersebut. Mereka hanya membantu pemerintah agar tercipta persaingan sehat dalam penyiaran. Sesuai ketentuan, KPI hanya wajib memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang aturan tata niaga penyiaran. Dalam prakteknya, pemerintah sendiri mengalami kesulitan menafsirkan perundangan, karena terdapat 14 pasal yang terkait dengan UU penyiaran. Hanya saja belum ada yang mengatur kepemilikan atau holding company. Di sisi lain perizinan diterbitkan untuk media, bukan holding company (Koran Tempo, 19/03/2008).

Dalam era globalisasi, seharusnya konglomerasi ini dimanfaatkan dalam mengatasi krisis multi level bangsa. Sesuai kemampuan yang bisa diberikan oleh para pekerja di bidang jurnalisme, baik cetak maupun siar, sudah selayaknya unsur-unsur program dan tulisan yang bersifat edukatif mulai kembali diangkat. Penayangan konten-konten yang ’tidak bermutu’ harus segera diminimalisir. Jika selama ini ’Dewa Rating’ menjadi pedoman, bukankah bisa terjadi rating ’tandingan’ yang dilakukan oleh asosiasi yang lebih independen sebagai patokan? Minimal, misalnya saja, para pemilik media membuat sebuah asosiasi gabungan yang mengatur etika, termasuk pendewaan rating. Sehingga market share atas program-program mereka, dengan kaitannya terhadap para pengiklan, masih dapat "dilangsungkan" dengan aman. Namun yang paling diharapkan adalah munculnya bibit-bibit penerus di bidang penyiaran yang 'bermoral' dan 'beretika'. Mungkin memang agak sulit jika pada akhirnya kita dihadapkan pada kepentingan praksis dan pragmatis. Yang jelas, langkah kompromi bukanlah jalan keluarnya.



Irawan Prayoga

http://shinshoku.blogs.friendster.com


No comments: