May 23, 2008

Antara Ipa dan Ips

Ini akibat dari sisa kebudayaan dikotomi Ilmu sosial (social science) dan ilmu alam (natural science). Beberapa orang masih menganggap bahwa ilmu sosial itu lebih rendah dari ilmu alam. Anak di bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sering dianggap lebih bodoh dari anak di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Kenyataannya anak lulusan IPA di kemudian hari menjadi natural scientist atau engineer yang kebanyakan bekerja di bawah kendali manager atau direktur yang lulusan IPS. Itu masih di lingkup bisnis dan industri. Kalau kita mau melihat dengan scope yang lebih luas ternyata dunia industri itu diatur oleh orang-orang politik, yang sekali lagi ia jebolan IPS. Di sinilah kemudian orang IPA tersadar, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan derajat antara ilmu sosial dan ilmu alam, keduanya adalah sama-sama ilmu, yang sama-sama berguna bagi kesejahteraan manusia. Mereka juga tersadar bahwa di dunia nyata mereka tak hanya bisa bertahan dengan ilmu alam dan teknik yang dibanggakannya, mereka membutuhkan ilmu sosial!

Kemudian muncullah trend yang berkembang dalam beberapa dekade ini: sarjana dengan latar belakang ilmu alam atau teknik banyak yang melanjutkan jenjang pendidikan program Master of Business Administration (MBA) atau dalam versi Indonesia Magister Manajemen (MM). MBA atau MM sebagai jenjang pendidikan profesi memang cukup memberikan bekal ilmu manajemen secara komprehensif dan relatif cepat kepada para lulusan ilmu alam atau teknik. Di MBA atau MM mereka bisa belajar semua function management: Finance, Human Resource, Operation, dan Marketing dengan pendalaman di bidang manajemen fungsi yang diminati.

Memang, ilmu manajemen itu bisa dipelajari secara otodidak, melalui buku dan web site. Tapi dengan mengikuti program MBA/MM, pembelajaran menjadi lebih terstruktur dengan akselerasi yang tinggi. Pembelajaran terstruktur ini banyak membantu lulusan IPA, khususnya dalam memahami bidang finance, yang sering menjadi momok bagi lulusan IPA.

Namun ada kekhawatiran saya yang semoga tidak benar bahwa di balik trend ini sebenarnya tersirat arogansi orang IPA: mereka tetap tak mau kalah dengan orang IPS. Tetap saja terdapat dikotomi IPA - IPS!

1 comment:

Anonymous said...

Mungkin ini adalah budaya yang timbul akibat kolonialisme yang terjadi di Indonesia (dan di dunia pada umumnya) sebagai negara dunia ketiga. Bahkan hingga ke tingkat pendidikan, pembedaan-pembedaan pun kerap terjadi. Pada awalnya memang terasa saat memasuki tingkat SMU, dimana ada pemilihan IPA-IPS. Yang terjadi adalah, kerap kali murid-murid IPS dianggap sebagai "buangan" dari IPA. Padahal tidak semuanya. Ada diantara mereka yang memang benar-benar secara sadar memilih IPS. Namun lagi-lagi, masalahnya adalah, mereka memilih IPS tidak dalam kondisi "sadar". Masih banyak murid yang memilih IPS demi tidak bertemu dengan pelajaran "menghitung dan berpikir", seperti Matematika, Kimia, atau Fisika. Mereka berdalih memilih IPS karena kuat di "hafalan". Tidak jarang masalah kemampuan "menghitung dan berpikir" serta "hafalan" ini juga yang menjadi pertimbangan sang guru untuk melakukan pembagian IPA-IPS terhadap murid-muridnya. Padahal seharusnya perlu pendalaman pribadi dan penggalian potensi secara optimal agar nantinya mereka tidak salah penjurusan.

Dampaknya, hingga ke jenjang perguruan tinggi, pemikiran dikotomi ini, faktanya, banyak dan masih saja terjadi. Orang-orang eksak dan orang-orang sosial. Di negara-negara maju, sepertinya hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Para ilmuwan, baik dari bidang eksakta atau sosial, sadar akan porsinya masing-masing. Dan memang benar, ilmu adalah ilmu. Tidak ada tingkatan di dalamnya. Jika ada sedikit perbedaan pengkhususan, itu merupakan hal wajar. Bahkan di ilmu sosial ada perbedaan antara mazhab Chicago dan Mazhab Frankfurt.

Memang pada akhirnya, jika berbicara masalah ilmu terapan, nantinya ilmu-ilmu semacam manajemen lah yang dibutuhkan. Ya memang begitulah adanya. Perusahaan kimia atau perakitan pesawat terbang sekaliber apapun, yang memiliki ahli sehandal apapun, jika manajemennya kacau-balau, tentu akan berakibat fatal. Saya yang sedari SMU berasal dari IPA pun akhirnya mengerti tentang ini. Ini tidak berarti meremehkan atau menyesali ilmu eksak yang dulu saya pelajari. Kontribusi terhadap pemikiran-pemikiran saya oleh ilmu-ilmu eksak itu cukup besar. Yah, misalkan saja ketika kita menjadi seorang manajer perusahaan minyak, tentu saja harus mengerti juga tentang teknis masalah perminyakan bukan? Menurut saya, prinsip mengenai ilmu, seharusnya adalah: semakin meluas; artinya tidak semakin mengerucut. Memang tidak salah jika seseorang memilih untuk menjadi ahli di bidangnya secara spesifik. Namun, nanti pada saatnya, akan ada semacam “kebutuhan” untuk “melihat ke arah lain” untuk mendukung ilmunya itu.

Tidak sedikit kok para ahli yang lintas ilmu. Sebut saja Theodore Adorno yang memasuki ranah studi-studi budaya (cultural studies), padahal dia adalah seorang musisi, komposer dan ahli teori musik. Ada juga Talcott Parsons, seorang ahli biologi, yang memakai analogi fungsi organ tubuh manusia untuk menjelaskan teori fungsionalisme-nya di ranah ilmu sosial. Ada lagi, Rostow, yang merupakan seorang ekonom yang juga bersentuhan di wilayah sosiologi.

Jadi, sekali lagi, kesadaran mengenai ranah-ranah keilmuan ini harus sejak awal dijelaskan kepada para siswa. Jangan sampai nantinya pembentukan pemikiran mengenai dikotomi ilmu (IPA vs IPS) ini menjadi paradigma yang mereka bawa hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.